Dalam kehidupan yang penuh dengan sandiwara, istilah kata ilmiah pasti tidak asing di telinga kita. Salah satunya kata intervensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti campur tangan dalam perselisihan antara dua belah pihak. Kata ini tidak selalu mengarah pada konotasi negatif. Dilansir dari [Merdeka.com] dari para pakar ahli yang bernama Parry dan Grant pengertian intervensi sendiri adalah tindakan turut campurnya sebuah negara secara diktator terhadap negara lain yang tujuannya adalah untuk menjaga atau pun mengubah kondisi aktual tertentu. Tapi pada kesempatan kali ini korelasi [hubungan] tentang intervensi sendiri akan saya tarik pada seorang senior.
Sebagai seorang yang mengembara di kota orang, banyak kejanggalan yang ditemukan disepenghujung jalan. Entah tersandung batu kerikil maupun tercebur di kolam orang. Sebagai manusia tentunya diberikan akal oleh Tuhan, guna untuk berfikir logis. Banyak tentunya Idealis yang harus tetap di jaga kewarasannya, walaupun banyak sokongan dari luaran sana. Sempat saya berfikir dengan orang yang sudah tidak mempunyai wewenang dalam sebuah kepengurusan dan tetap ikut andil [campur] pada ketentuan yang seharusnya tidak ia lakukan. Hal ini yang membuat kedamaian saya terganggu sehingga muncul pemikiran skeptis (ragu-ragu) akan kejanggalan tersebut. Tentu adanya nasihat menjadi faktor penting dalam proses perbaikan diri dan tak semua nasihat dapat kita serap dan kita tuangkan di kehidupan kita. Alangkah baiknya memikirkan nasihat seseorang dengan kepala dingin, apakah baik untuk kita atau tidak. Sekilas fikiran mengingat perkataan salah satu politisi Jerman sekaligus ketua partai Nazi yang bernama Adolf Hitler yang mengatakan “lingkungan kita itu Netral, Positif atau Negatifnya tergantung pada pola fikir kita menerimanya seperti apa”. Memang tonggak perjalanan saya berada di ruang lingkup kulonan (dalam bahasa jawa berarti kedaerahan) khususnya di Kota Kediri yang terkenal sebagai kota santri. Dalam [kompassiana.com] yang menyatakan bahwa terdapat beberapa pondok pesantren besar dan terkenal di Kota ini, sehingga banyak orang yang menganggap bahwa Kediri sebagai Kota Santri. Pernyataan tersebut membuat asumsi pasti manut poro kyai (hormat terhadap seorang yang disakralkan). Memang tradisi yang saya rasakan ciri khas orang Kediri yang ramah dan sopan, berbeda dengan tempat asal saya tinggal. Hal ini tidak bisa dipungkiri dengan siklus yang berbeda.
Sebagai seorang yang ingin tahu [kepo] akan suatu hal, waktu agenda Pelatihan Kader Dasar (PKD) yang dilaksanakan oleh PMII Abraham, salah satu pemateri yang bernama M. Eko Zuliyanto mengatakan bahwa “perbedaan kebutuhan dalam setiap kepengurusan itu berbeda, jika dulu kita butuh makan belum tentu kita sekarang butuh makan juga, mungkin kita saat ini butuh minum”. Hal demikian menggambarkan bahwa setiap zaman tentunya berbeda, memang kita mengacu pada pengalaman [refrensi] yang dulu pernah berlalu, guna menghasilkan pandangan untuk melangkah ke jalan yang lebih baik lagi. Setiap langkah seseorang tentulah sangat berbeda, tergantung bagaimana dia menyikapinya. Intervensi yang sering saya alami dari para alumni maupun senior selalu saja meracuni fikiran saya yang menghilangkan esensi tujuan saya. Tentu kita boleh memilih, tapi jangan sampai kita ikut serta dan teracuni oleh pemikiran orang lain. Pernah saya berkata kepada salah satu teman saya “dalam sebuah perjalanan pasti kita akan dihadapkan oleh sebuah hal baru, secara tidak sengaja kita akan ikut terbawa arus ke dalamnya. Namun, jangan pernah lupakan tujuan awal kita yang sebenarnya akan kita raih”. Hal ini akan menjadi tonggak ukuran sejauh mana kita akan mempertahankan idealisme kita sehingga tidak gampang terintervensi oleh orang lain.
Teguh pada prinsip memang sulit untuk dilakukan, karena terikat oleh sebuah struktural. Tapi hal ini tidak akan mengurangi esensi sebagai seorang yang waras tentang pemikiran. Jika dikatakan menghormati tentunya sangat menghormati, bahkan bisa jadi lebih, tetapi why seakan-akan keluh kesah tidak akan pernah tersampaikan?. Banyak intruksi yang selalu diucapkan, banyak nasihat yang masuk di dalam fikiran, tapi apakah hal ini dominan akan menjadi lebih baik? atau malah sebaliknya?. Keputusan ada pada tangan sang penguasa, namun keputusan yang tidak sesuai akan tetap saya bantah jika itu tidak sejalan dengan pemikiran saya. Bagi kebanyakan orang ketika memutuskan suatu hal, tentunya harus dipertimbangan secara matang, karena hal yang dikhawatirkan adalah impact [dampak] dari hasil keputusan tersebut. Intervensi yang tidak seharusnya di jatuhkan oleh para senior, alangkah baiknya di buang agar seseorang menjadi berkembang dengan isi otaknya sendiri tanpa dibumbu-bumbui intruksi yang akan menghasilkan istilah ditunggangi. Saran memang sangat diperlukan, namun jangan menitik seperti jarum yang menusuk. Prespektif [pandangan] seseorang tentunya berbeda, tergantung sudut pandang mereka melihat. Latar belakang seseorang juga sangat perlu kita ketahui sebelum kita memutuskan suatu hal kepadanya. Karena poin penting dari seseorang adalah memahami diri sendiri sebelum memahami orang lain. Bagaimana kita bisa menafsirkan bahwa orang lain akan bertindak demikian, jika diri kita sendiri masih enggan untuk berbenah menjadi lebih baik?. Semoga dengan ocehan [perkataan] singkat ini memberikan kesadaran bagi siapa pun yang memang masih semaput [tak sadarkan diri] dengan harapan berbenah menjadi lebih baik lagi.
Catatan: “saya akan terus menulis walaupun hanya saya yang membacanya” (kata kakak tingkat yang seperguruan dengan saya) dan sudah semestinya fakta yang saya alami siap untuk dipertanggung jawabkan.
Oleh: Riyadus
2 Komentar
👍
BalasHapusLanjutkan Sahabat
BalasHapus