Tindakan Represif Aparat dari Kacamata Seorang "Pasifis"





Pic by Detiknews with a bit edit (14/10/21)


Gelar mahasiswa dari dulu memang ngeri ngeri sedap. Penyematan kata maha di depan kata siswa mau tidak mau memberi sekat intelektual antara mereka yang masih duduk di bangku sekolah dengan yang duduk di perguruan tinggi. Persetan dengan perangkat pendidikan yang terkadang hanya berfokus pada pengembangan skill – skill akademik. Hal ini juga tidak sepenuhnya tidak benar, kita fahami bahwa keputusan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi tiap individu tentu dilatarbelakangi alasan yang berbeda – beda, dan ini sah – sah saja. 

 

Berangkat dari hal ini kemudian muncul berbagai klasifikasi mahasiswa (akademis, aktivis, organisatoris, pasifis, apatis, hedonis dll). Entah siapa yang mencetuskan klasifikasi semacam ini namun istilah – istilah diatas tentu tidak asing apalagi bagi mahasiswa yang menahbiskan dirinya sebagai mahasiswa pergerakan. Saya tidak akan mengajak sahabat/i mengkaji klasifikasi ini satu – persatu karena banyak sekali literatur – literatur khususnya di platform online yang membahas hal ini. Saya pribadi lebih suka menyebut diri seorang pasifis. Disamping berkaca pada realita, narasi – narasi yang kemudian diinput ke sistem prosesor diri kita ini pada akhirnya menjadi semacam warning alarm untuk selalu berproses dan bertumbuh, itu sih yang saya rasakan.

 

Berbicara tentang sistem prosesor mungkin akan terdapat khilafiyah disini. Saya amat faham sahabat/i berpegang teguh pada NDP selalu menanamkan sikap optimis sebagai realisasi dari definisi seorang hamba yang tugasnya adalah memaksimalkan penghambaan melalui penyempurnaan akal. Dan sekali lagi ini sah – sah saja. Tetapi kalau boleh saya bilang terkadang kita harus sedikit memasukkan reason, measure supaya tidak terjebak narasi – narasi utopis yang membuat kita aman di zona nyaman. Di timangan ibunda, tertidur lelap.

 

Kembali soal mahasiswa, di posisi mana akhirnya kita memilih menunjukkan eksistensi diri atau memilih berdikari menjadi mahasiswa karir dengan soft skill yang sudah mumpuni, kita tetap berada pada satu payung yang sama, MAHASISWA. Dan konsekuensi dari berada di payung yang sama ini adalah juga mengemban tugas yang sama. masyarakat tidak akan kepo – kepo banget kita ini dari mana dibesarkan di afiliasi mana, mereka hanya tau kita ini mahasiswa.

 

Untuk itu penting menurut saya merespon dan mengambil sikap atas apa yang terjadi pada kawan sepayung kita di Banten kemarin (13/10/2021). Saya tau stigma yang lumrah terhadap hal – hal semacam mengambil sikap ini terkesan seperti formalitas belaka, namun dalam prinsip organisasi hal – hal kecil sekedar support seperti ini merupakan sesuatu yang amat berharga. Bahkan dalam hadisnya Rasulullah bersabda mukmin satu dengan mukmin yang lain selaiknya bangunan, menguatkan satu  sama lain (jika konteksnya sahabat/i masih terjebak dengan tendensi agama). Hormat untuk kawan – kawan yang berjuang di jalanan. 

 

Kejadian yang dialami mas Faris dan kawan – kawan HIMATA kemarin, bagi orang yang awam, awam banget  soal dinamika kehidupan mahasiswa pasti tidak sulit kemudian melontarkan candaan semacam hla hari ulang tahun kok ya demo, kok ga ngerti wayah terlepas dari BuzzerP yang memang tugasnya seperti itu. Disini kemudian tugas kita sebagai kawan untuk mengedukasi bahwa yang dilakukan mas faris dan kawan – kawan HIMATA ini tentu bukan gerakan grudak – gruduk semata. Namun diawali dengan diskusi mendalam (seperti yang kerap dilakukan sahabat/i di rayon itu) mengenai kondisi sosial masyarakat, sehingga kemudian diputuskan lah untuk menyuarakan nya bertepatan dengan HUT Kabupaten Tangerang. Lihat saja isi tuntutannya seputar kevalidan DPLH (dokumen pengelolaan lingkungan hidup) dari perusahaan yang limbahnya merugikan rakyat Kabupaten Tangerang, soal penanganan covid hingga pembangunan yang timpang. ini semua kan untuk rakyat. 

 

Kok menurut saya berlebihan banget bapak – bapak polisi ini ”mengamankan situasi” sampai terjadi bentrok fisik seperti itu. Sampai mas Faris perlu di smackdown ala – ala John Cena. Mereka kan hanya berpendapat dan ini diatur oleh Undang – Undang loh sebenarnya dear bapak polisi cakep dan gagah. Yuk kita tengok pasal yang kerap dirujuk dan kita hafalkan dari SD dulu pasal 28 UUD 1945 ;

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.

Nahloh ! bagaimana undang – undangnya ? sahabat/i bisa cari sendiri di UU nomor 9 tahun 1998. Menyampaikan pendapat, demonstrasi itu boleh (makanya kemudian ayo beropini xixixi). 

 

Sebagai seorang pasifis, jujur kompilasi tindakan represif ini membuat saya begidik ngeri. Bisa – bisanya hak bersuara yang diberikan langsung oleh gusti Allah ini dibungkam. Kenapa saya dengan pede bilang kompilasi, ya sahabat/i tau sendiri sudah berapa banyak kasus – kasus tindakan represif aparat berulang di negeri tercinta ini. Kalau mau bahas pasal yang bisa dijerat untuk tindakan seperti ini ya banyak. Namun apa artinya jika kemudian tindakan seperti ini hanya berakhir di ketiak divisi PROPAM (profesi dan pengamanan) polisi. Kalau sahabat/i adalah pribadi pembaca setia situs mojok.co pasti akan langsung terbersit wes RAMASHOK blas ! . Apalagi yang kemudian tidak ditindaklanjuti kok kesannya seperti ada eskalasi pembiaran tindakan represif di internal dan eksternal polri. Tindakan seperti ini dilegitimasi dan dighalibkan karena memang mereka kan mengamankan. Jadi tindakan – tindakan refleks seperti itu ya gapapa.

 

Rivanlee, wakil koordinator KontraS menyebut dalam kurun waktu 2020 hingga September 2021 terdapat 814 tindak kekerasan oleh aparat keamanan dimana 714 diantaranya dibiarkan tidak ditindaklanjuti, kan kebangeten! . Dengan dalih sesuai SOP dan polisi humanis kasus selesai. SOP yang bagaimana yang dimaksud jika kemudian yang terjadi di lapangan kekuatan yang dikerahkan bapak – bapak polisi terlampau surplus dibandingkan kesiapan mahasiswa. Mungkin tim taktikal Polri perlu melakukan analisis ulang perihal SOP nya apakah masih relevan atau tidak. Supaya kemudian tidak timbul narasi apa iya benar kita ini dimata pemerintah hanya angka – angka saja. Minta dikritik, sekalinya dikritik diberangus hmm mungkin karena kita kurang kenal pemerintah aja kali ya.

 

Alhamdulillah nya, kasus kawan – kawan HIMATA kemarin sudah ditindaklanjuti di divisi PROPAM Polda Tangerang (seenggaknya tidak dibiarkan, persetan karena viral). Meskipun kamis malam kemarin (14/10/2021), mas Faris mengeluh sakit di lehernya bertambah parah, kita doakan semoga tidak terjadi luka dalam yang serius. Bapak polisi kedepannya tolong dikaji ulang SOP nya dan disosialisasikan ke anggota, saya tau profesi jenengan – jenengan ini masih jadi salah satu primadona jabatan impian muda – mudi nasionalis bangsa ini. Jenengan -  jenengan punya stok bibit unggul yang siap mengantre menunggu panggilan akpol bahkan ada yang sangking nasionalisnya pengen membela bangsa sampai nyangoni jenengan – jenengan. Sebagai bahan refleksi untuk kita, mahasiswa, peristiwa semacam ini tak boleh menggentarkan semangat kita berjuang menumbuhkan keberadilan di negeri tercinta ini. Melalui berbagai jalan, hormat kami untuk kawan yang berjuang di jalan, kawan yang memilih setia mengobarkan semangat di balik penanya dan kawan yang memilih berjuang melalui dukungan emosional. Tabik,

 

Perwarta: Finaqurrota




0 Komentar