Represifitas Aparat terhadap Demonstran Sebagai Bentuk Pengamanan atau Pembungkaman Demokrasi?

Foto Suasana Demonstrasi di Gedung DPRD Kota Kediri

Pada 23 Agustus 2024, aksi demonstrasi yang terjadi di depan Gedung DPRD Kediri. Massa yang terdiri dari mahasiswa, aktivis, dan masyarakat sipil turun ke jalan untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menolak revisi UU Pilkada menjadi korban kekerasan dan penangkapan oleh aparat keamanan. Aksi demonstrasi yang semula damai berubah menjadi ricuh setelah polisi menggunakan kekuatan berlebihan untuk membubarkan massa. Fenomena ini memicu pertanyaan mendasar: apakah tindakan represif aparat ini merupakan upaya menjaga ketertiban atau justru upaya untuk membungkam kebebasan berpendapat?
 
Di Indonesia, kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan diperkuat oleh UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Demonstrasi merupakan salah satu bentuk partisipasi publik dalam demokrasi yang penting. Namun, yang sering terjadi justru tindakan represif dari aparat, mulai dari kekerasan fisik hingga penangkapan sewenang-wenang. Langkah-langkah semacam ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak toleran terhadap kritik dan perbedaan pendapat. 
 
Pendekatan represif oleh aparat kerap kali didasarkan pada alasan menjaga keamanan dan ketertiban umum. Namun, kekerasan dan intimidasi dalam merespons aksi damai justru mengaburkan fungsi kepolisian sebagai pelindung masyarakat. Diskresi yang tidak terukur dan penggunaan kekuatan berlebihan menunjukkan masalah struktural dalam pendekatan aparat terhadap kebebasan sipil. Alih-alih melindungi hak konstitusional warga negara, aparat justru mengekang ruang demokrasi dan menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat.
 
Dampak dari tindakan represif ini jauh lebih luas daripada sekadar insiden kekerasan. Pertama, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian menurun. Ketika aparat dilihat lebih sebagai alat represi daripada pelindung, legitimasi dan kredibilitas institusi ini tergerus. Kedua, tindakan semacam ini menciptakan efek jera di kalangan masyarakat yang ingin menyuarakan aspirasi atau kritikan. Ketakutan untuk turun ke jalan atau menyampaikan pendapat dapat mengakibatkan partisipasi publik dalam demokrasi menurun, yang pada
gilirannya mengancam kualitas demokrasi itu sendiri. 
 
Sebuah negara yang mengklaim diri sebagai negara demokratis harus menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Demonstrasi yang terjadi pada 23 Agustus seharusnya direspons dengan pendekatan dialogis dan pengamanan yang proporsional, bukan dengan kekerasan. Aparat kepolisian harus mampu membedakan antara tindakan pengamanan dan tindakan represif. Reformasi dalam tubuh kepolisian, termasuk peningkatan profesionalitas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, menjadi sangat mendesak untuk memastikan bahwa demokrasi di Indonesia tetap berjalan dengan baik.
 
Singkatnya, kebebasan berpendapat adalah pilar utama demokrasi. Ketika pilar ini
terganggu oleh tindakan represif aparat, maka kita menghadapi ancaman serius terhadap demokrasi itu sendiri. Negara harus memastikan bahwa hak warga negara untuk menyuarakan pendapat mereka tetap dilindungi, tanpa rasa takut akan intimidasi atau
kekerasan. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat tetap konsisten dalam menjaga nilai-nilai demokrasi yang diamanatkan oleh konstitusi.


Oleh: Wella Apriilia

Editor: M. Abdillah Alfa R.

0 Komentar