Mahasiswa harus Kritis?: Refleksi atas Moral dan Akal Sehat

Foto: https://pin.it/2zTAYiu5e

Dalam lingkungan pendidikan tinggi, mahasiswa seharusnya menjadi contoh generasi yang kritis, beradab, dan beretika. Namun, tidak jarang terjadi ironi di mana seseorang yang berstatus mahasiswa, bahkan aktif dalam organisasi, melontarkan kata-kata kasar yang merendahkan orang lain. Pengalaman mendapat cemooh kurang baik seperti "pelacur" atau "wanita ular" oleh sesama perempuan menjadi bukti nyata bahwa pendidikan formal belum tentu sejalan dengan kedewasaan moral.  

Kasus ini menggambarkan bahwa ada celah besar dalam pemahaman kita tentang makna pendidikan. Pendidikan seharusnya tidak hanya menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk karakter yang menghargai sesama manusia. Ketika seorang mahasiswa dengan mudah melabeli orang lain tanpa mengetahui kebenaran yang sebenarnya, itu menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis—yang menjadi salah satu tujuan utama pendidikan tinggi—belum diterapkan sepenuhnya.  

Yang lebih mengecewakan, kata-kata tersebut datang dari sesama perempuan. Hal ini menunjukkan adanya internalisasi misogini, di mana perempuan justru menjatuhkan perempuan lain. Perempuan yang melontarkan hinaan semacam ini sebenarnya turut memperkuat stigma negatif terhadap kaumnya sendiri. 

Kritik terhadap fenomena ini juga menyentuh persoalan etika dalam organisasi mahasiswa. Berada di organisasi seharusnya melatih seseorang untuk berpikir jernih, bekerja sama, dan saling mendukung, bukan menjadi ajang untuk menyebarkan fitnah atau merendahkan orang lain. Organisasi bukan hanya tempat belajar manajemen, tetapi juga tempat mengasah moralitas. Jika anggota organisasi tidak mampu menjaga kata-kata dan sikapnya, maka integritas organisasi itu sendiri patut dipertanyakan.  

Perempuan cerdas adalah perempuan yang tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam, dan kapan harus membela kebenaran.  

Dalam refleksi ini, penting untuk kembali menekankan bahwa mahasiswa, terutama mereka yang aktif di organisasi, harus menjadi teladan dalam berpikir kritis dan berbicara dengan adab. Pendidikan tinggi bukan hanya soal gelar, tetapi juga soal membangun karakter. Jangan sampai ucapan yang keluar dari mulut kita justru mencerminkan kebodohan dan keburukan hati. Jadilah perempuan yang cerdas, berprinsip, dan memiliki solidaritas yang kuat terhadap sesama. Karena pada akhirnya, kita dinilai bukan hanya dari apa yang kita capai, tetapi juga dari bagaimana kita memperlakukan orang lain.


Penulis: Wella Ayu Apriliani




 

0 Komentar