PMII Hanya Sebagai Bumper Politik?

 

Sumber: antarafoto.com

Kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang digelar di Palembang mulai dari tanggal 9 Agustus 2024 seharusnya menjadi momen penting bagi Ketua Umum, Muhammad Abdullah Syukri, untuk menunjukkan jati dirinya sebagai pemimpin yang netral dan berintegritas. Dalam sejarah panjang organisasi ini, pemimpin PMII diharapkan mampu menjaga arah perjuangan organisasi sesuai dengan nilai-nilai Islam dan nasionalisme tanpa terjebak dalam pusaran politik praktis. Namun, kongres kali ini justru menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan kader dan alumni.

Diharapkan Syukri menutup masa jabatannya dengan elegan dan penuh inspirasi. Sebagai sosok yang sudah dipercaya memimpin PMII, ia seharusnya menjadi contoh bagi para kader dalam menjaga kemurnian gerakan mahasiswa. PMII sebagai organisasi kemahasiswaan berbasis keagamaan telah lama menjadi ruang pengkaderan, pendidikan, dan pengabdian sosial tanpa harus terkooptasi oleh kepentingan politik jangka pendek. Namun, realitas yang terjadi di Palembang justru sebaliknya. Syukri, yang diharapkan bisa menunjukkan sikap netral dan berdiri di atas semua kepentingan politik, justru memilih jalur yang kontroversial dan menghianati semangat independensi organisasi ini.

Di hadapan ratusan kader yang hadir, Syukri secara terang-terangan mempersembahkan PMII sebagai alat politik untuk Abdul Muhaimin Iskandar, atau yang lebih dikenal sebagai Cak Imin. Tindakan ini tidak hanya melukai hati para kader yang selama ini berjuang menjaga independensi organisasi, tetapi juga mencederai marwah PMII sebagai gerakan mahasiswa yang mandiri dan netral. Keputusan Syukri untuk mendeklarasikan dukungannya kepada Cak Imin menunjukkan betapa besarnya pengaruh politik di dalam organisasi, yang seharusnya bisa dihindari jika pemimpin bersikap lebih bijak dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip organisasi.

Tindakan Syukri ini menjadi bukti nyata bahwa godaan politik praktis kerap kali merusak integritas seorang pemimpin. PMII, yang seharusnya menjadi ruang kritis bagi kader dalam memperjuangkan keadilan sosial dan kebenaran, justru diperalat untuk kepentingan politik segelintir elit. Padahal, PMII memiliki sejarah panjang dalam menjaga jarak dari kepentingan politik praktis demi mempertahankan posisi sebagai penggerak perubahan sosial yang murni.

Kongres di Palembang, yang seharusnya menjadi panggung terakhir bagi Syukri untuk menorehkan catatan emas dalam kepemimpinannya, kini justru tercoreng dengan sikap yang tidak sejalan dengan nilai-nilai perjuangan PMII. Kekecewaan kader bukan hanya soal dukungan terhadap Cak Imin, melainkan pada tindakan yang dianggap mengkhianati organisasi dan merendahkan martabat PMII sebagai entitas yang seharusnya merdeka dari pengaruh politik praktis.

Dengan apa yang terjadi, berharap agar kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi para kader PMII untuk lebih kritis dan tidak mudah terbuai oleh janji-janji politik. PMII harus kembali sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang berpihak pada rakyat, bukan alat politik. Ke depan, kepemimpinan PMII harus dipegang oleh sosok yang benar-benar memahami arti independensi dan keberpihakan pada kepentingan rakyat, bukan pada elit politik tertentu.

Momentum kongres ini seharusnya bisa menjadi tonggak penting bagi kader dalam menegaskan sikap independen dan menjaga integritas. Namun, tindakan Syukri justru menciptakan preseden buruk yang merugikan masa depan organisasi. Kongres Palembang yang seharusnya menjadi ajang unjuk gigi kepemimpinan yang bermartabat dan menginspirasi, kini hanya akan dikenang sebagai panggung pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur PMII.

 

Penulis : Wella A. Apriliani

Editor: M. Abdillah Alfa Rizqi

0 Komentar