Mukjizat
Al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya dimana dan
kapanpun. Seseorang yang mempelajari secara khusus ilmu-ilmu Al-Quran tidak
akan ragu untuk menyatakan bahwa di dalam Al-Quran terkandung isyarat-isyarat
ilmiah, bahkan fakta-fakta ilmiah yang bersifat i’jaz. Karena, hal itu
melampaui batas-batas masa, umat, bahkan Nabi Muhammad sendiri sebagai penerima
Al-Quran.
Para ulama
sepakat bahwasanya Al-Quran tidaklah melemahkan manusia untuk mendatangkan
sepadan Al-Quran hanya karena satu aspek saja, akan tetapi karena beberapa
aspek, baik aspek lafzhiyah (morfologis), ma’nawiyah (semantik) dan ruhiyah
(psikologis). Semuanya bersandarkan dan bersatu, sehingga melemahkan manusia
untuk melawannya. Walaupun telah disepakati sebagai mukjizat (bahkan mukjizat
terbesar), tetapi para ulama berbeda pandangan dalam menentukan letak nilai
kemukjizatan AlQuran.
Mukjizat Al-Quran dari segi Bahasa
Abdul Razak
Naufal ketika meneliti al-Quran menemukan keseimbangan-keseimbangan dalam
bilangan kata yang dipergunakan al-Quran. Sementara Rasyad Khalifah menemukan
konsistensi pemakaian jumlah huruf
pembuka surah dalam surah yang bersangkutan. Sedang al-Rumani, al-Baqilani, dan
Rasyid Ridho melihat sudut keindahan bahasa al-Quran yang jauh melebihi
keindahan sastra Arab.
Al-Quran
pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad.
Keahlian mereka adalah bahasa Arab dan sastra Arab. Di mana-mana terjadi
musabakah (perlombaan) dalam menyusun syair atau khutbah, petuah, dan nasihat.
Syairsyair yang dinilai indah, digantung di ka’bah, sebagai penghormatan kepada
penggubahnya sekaligus untuk dinikmati oleh yang melihat atau membacanya.
Penyair mendapat kedudukan yang istimewa dalam masyarakat Arab. Mereka dinilai
sebagai pembela kaumnya. Dengan syair dan gubahan mereka reputasi suatu kaum
atau seseorang dan juga sebaliknya dapat menjatuhkannya.
Susunan gaya
bahasa dalam Al-Quran tidak bisa disamakan oleh apapun, karena AlQur’an bukan
susunan syair dan bukan pula susunan prosa, namun ketika Al-Qur’an dibaca maka
ketika itu terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya.
Cendikiawaan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran,
menulis: “Al-Quran mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap
nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka-cita”
Gaya bahasa
yang digunakan Al-Quran berbeda dengan gaya bahasa yang digunakan oleh
orang-orang Arab. Walaupun Al-Quran menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
pengantarnya, kalimat demi kalimat mengandung unsur sastra yang sangat baik
namun tetap mudah dipahami tanpa mengurangi sedikitpun kandungan misteri di
dalamnya. Salah satu sahabat, Umar bin Khathab pun yang mulanya dikenal sebagai
seorang yang paling memusuhi Nabi Muhammad SAW dan bahkan berusaha untuk
membunuhnya, memutuskan untuk masuk Islam dan beriman pada kerasulan Muhammad
hanya karena membaca petikan ayat-ayat Al Qur’an.
Mukjizat Al-quran Dari Segi Sastra
Sebelum
diturunkan nya Al-Qur’an, bahasa dan sastra Arab memang sangat familiar dan
melekat erat ke dalam ‘sukma’ kepribadian orang Arab. Bahasa yang digunakan dan
karya sastra yang diciptakan mereka adalah suatu hal yang menjadi bukti. Simbol
keagungan mereka anggap - tidak ada yang menandinginya - terletak di dalam
keindahan dan bahasa yang mereka gunakan. Itu sebabnya muncul pengakuan di
tengah mereka, bahwa jika mereka mampu memproduksi puisi dan karya sastra
termasuk pribadi yang jenius.
Manakala
Al-Qur’an hadir, kemampuan bahasa dan sastra mereka seolah ‘terlucuti’ oleh
keindahan bahasa Al-Qur’an yang tidak pernah ada sebelumnya. Ini yang kemudian
mereka merefer Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi ke dalam menjadi gaya bahasa
dan sastra Arab mereka.
Atas dasar itu
semua, kemudian menjadi penting bagi seseorang yang berkedudukan sebagai
sastrawan. Maksudnya, nilai kesusasteraan Al-Qur’an yang berbasis Al-Qur’an itu
sendiri, tidak sekadar sebagai media merekonstruksi kenyataan empiris, namun
lebih dari itu semua, yakni tuntutan untuk mengoptimalkan implementasi
kesadaran teologis transendental-spiritual.
Tidak saja dari
kalangan sastrawan, nyatanya tidak sedikit muslim yang menekuni Al-Qur’an
sebagai karya sastra, dan mengekspos rahasia keindahan dan kebudayaan estetika
bahasanya atau yang sering kita sebut dengan kemukjizatannya. Khususnya pada
jenjang perguruan tinggi berbasis ilmu Al-Qur’an, sastra, dan studi Islam
lainnya.
Penulis : Rovi Andari Dwi Astutik
editor : Nurul Badi'ah
0 Komentar