KEMU’JIZATAN AL-QUR’AN DARI SEGI BAHASA DAN SASTRA

 


Sumber : berita 99.co

Mukjizat Al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya dimana dan kapanpun. Seseorang yang mempelajari secara khusus ilmu-ilmu Al-Quran tidak akan ragu untuk menyatakan bahwa di dalam Al-Quran terkandung isyarat-isyarat ilmiah, bahkan fakta-fakta ilmiah yang bersifat i’jaz. Karena, hal itu melampaui batas-batas masa, umat, bahkan Nabi Muhammad sendiri sebagai penerima Al-Quran.

Para ulama sepakat bahwasanya Al-Quran tidaklah melemahkan manusia untuk mendatangkan sepadan Al-Quran hanya karena satu aspek saja, akan tetapi karena beberapa aspek, baik aspek lafzhiyah (morfologis), ma’nawiyah (semantik) dan ruhiyah (psikologis). Semuanya bersandarkan dan bersatu, sehingga melemahkan manusia untuk melawannya. Walaupun telah disepakati sebagai mukjizat (bahkan mukjizat terbesar), tetapi para ulama berbeda pandangan dalam menentukan letak nilai kemukjizatan AlQuran.

Mukjizat Al-Quran dari segi Bahasa

Abdul Razak Naufal ketika meneliti al-Quran menemukan keseimbangan-keseimbangan dalam bilangan kata yang dipergunakan al-Quran. Sementara Rasyad Khalifah menemukan konsistensi pemakaian  jumlah huruf pembuka surah dalam surah yang bersangkutan. Sedang al-Rumani, al-Baqilani, dan Rasyid Ridho melihat sudut keindahan bahasa al-Quran yang jauh melebihi keindahan sastra Arab.

Al-Quran pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad. Keahlian mereka adalah bahasa Arab dan sastra Arab. Di mana-mana terjadi musabakah (perlombaan) dalam menyusun syair atau khutbah, petuah, dan nasihat. Syairsyair yang dinilai indah, digantung di ka’bah, sebagai penghormatan kepada penggubahnya sekaligus untuk dinikmati oleh yang melihat atau membacanya. Penyair mendapat kedudukan yang istimewa dalam masyarakat Arab. Mereka dinilai sebagai pembela kaumnya. Dengan syair dan gubahan mereka reputasi suatu kaum atau seseorang dan juga sebaliknya dapat menjatuhkannya.

Susunan gaya bahasa dalam Al-Quran tidak bisa disamakan oleh apapun, karena AlQur’an bukan susunan syair dan bukan pula susunan prosa, namun ketika Al-Qur’an dibaca maka ketika itu terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Cendikiawaan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran, menulis: “Al-Quran mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka-cita”

Gaya bahasa yang digunakan Al-Quran berbeda dengan gaya bahasa yang digunakan oleh orang-orang Arab. Walaupun Al-Quran menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya, kalimat demi kalimat mengandung unsur sastra yang sangat baik namun tetap mudah dipahami tanpa mengurangi sedikitpun kandungan misteri di dalamnya. Salah satu sahabat, Umar bin Khathab pun yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling memusuhi Nabi Muhammad SAW dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, memutuskan untuk masuk Islam dan beriman pada kerasulan Muhammad hanya karena membaca petikan ayat-ayat Al Qur’an.

Mukjizat Al-quran Dari Segi Sastra

Sebelum diturunkan nya Al-Qur’an, bahasa dan sastra Arab memang sangat familiar dan melekat erat ke dalam ‘sukma’ kepribadian orang Arab. Bahasa yang digunakan dan karya sastra yang diciptakan mereka adalah suatu hal yang menjadi bukti. Simbol keagungan mereka anggap - tidak ada yang menandinginya - terletak di dalam keindahan dan bahasa yang mereka gunakan. Itu sebabnya muncul pengakuan di tengah mereka, bahwa jika mereka mampu memproduksi puisi dan karya sastra termasuk pribadi yang jenius.

Manakala Al-Qur’an hadir, kemampuan bahasa dan sastra mereka seolah ‘terlucuti’ oleh keindahan bahasa Al-Qur’an yang tidak pernah ada sebelumnya. Ini yang kemudian mereka merefer Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi ke dalam menjadi gaya bahasa dan sastra Arab mereka.

Atas dasar itu semua, kemudian menjadi penting bagi seseorang yang berkedudukan sebagai sastrawan. Maksudnya, nilai kesusasteraan Al-Qur’an yang berbasis Al-Qur’an itu sendiri, tidak sekadar sebagai media merekonstruksi kenyataan empiris, namun lebih dari itu semua, yakni tuntutan untuk mengoptimalkan implementasi kesadaran teologis transendental-spiritual.

Tidak saja dari kalangan sastrawan, nyatanya tidak sedikit muslim yang menekuni Al-Qur’an sebagai karya sastra, dan mengekspos rahasia keindahan dan kebudayaan estetika bahasanya atau yang sering kita sebut dengan kemukjizatannya. Khususnya pada jenjang perguruan tinggi berbasis ilmu Al-Qur’an, sastra, dan studi Islam lainnya.


Penulis : Rovi Andari Dwi Astutik

editor : Nurul Badi'ah

0 Komentar