Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) adalah organisasi mahasiswa Nahdliyin yang lahir untuk mewujudkan
adanya keseimbangan sosial dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang dipenuhi rasa tanggung jawab, karena sesungguhnya gelar mahasiswa adalah
tantangan untuk mewujudkan suatu kehidupan yang lebih baik untuk orang-orang
disekitarnya. PMII lahir melalui musyawarah mahasiswa Nahdlatul Ulama’ (NU)
tepatnya dikota surabaya pada tanggal 17 april 1960/21 syawal 1397 H. Yang
diketuai oleh Mahbub Djunaidi. PMII terdiri dari 4 penggalan kata, yaitu
Pergerakan, Mahasiswa, Islam dan Indonesia. Secara Totalitas PMII sebagai organisasi
merupakan suatu gerakan yang bertujuan melahirkan kader-kader bangsa yang
mempunyai integrasi diri sebagai hamba yang bertaqwa kepada alllah SWT dan atas
dasar ketaqwaannya berkiprah mewujudkan peran kemanusiaannya membangun
masyarakat bangsa dan negara indonesia menuju suatu tatanan masyarakat yang
adil dan makmur.
Berbicara tentang organisasi,
makna organisasi yaitu kesatuan atas orang-orang
dalam sebuah perkumpulan yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Sebuah
organisasi wajib memiliki tujuan. Tanpa tujuan kita akan bingung arah gerak
yang harus dilakukan seperti apa dan outputnya nanti bagaimana. Bisa kita
orientasikan dalam sebuah organisasi, contohnya di PMII yang memiliki kejelasan
tujuan yakni "Terbentuknya pribadi
muslim indonesia yang bertaqwa kepada allah swt, berbudi luhur, berilmu, cakap
dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya, dan komitmen memperjuangkan
cita-cita kemerdekaan indonesia". Bisa dilihat dan dimaknai bahwa
tujuannya menekankan pada nilai keislaman dan keindonesiaan. Hal tersebut juga
sudah tertera di dalam nilai dasar pergerakan (NDP) PMII yang merupakan sebuah
sublimasi antara nilai keislaman dan keindonesiaan. NDP sendiri merupakan suatu
tali pengikat (kalimatun sawa') yang mempertemukan warga-warga
pergerakan dalam satu cita-cita perjuangan sesuai tujuan organisasi. Sebuah tujuan
tidak bisa terlaksana jika tidak ada dinamika. Begitupun sebaliknya, dinamika
tanpa berpatokan pada tujuan maka akan hilang
arah dan bingung bergerak harus kemana.
Dalam berdinamika untuk mencapai tujuan tersebut
arah gerak yang dilakukan harus menyesuaikan dengan zaman. Untuk menyesuaikan
dengan zaman jelas harus ada yang namanya pengembangan. Berbicara tentang
pengembangan di dalam organisasi. Di dalam organisasi tepatnya di PMII tidak
mungkin jika kita hanya ber leha-leha tanpa adanya sebuah dinamika dan revolusi yang
kita lakukan untuk mengembangkan organisasi tersebut menjadi sebuah organisasi
yang lebih progres. Karena jika hanya pasif saja di dalam organisasi untuk apa kita menceburkan diri di dalamnya? Apakah hanya menumpang embel-embel mengikuti organisasi saja? Lantas
sumbangsih apa yang akan kita berikan? Dedikasi apa yang mampu kita lakukan?
Mari intropeksi diri. Setiap persona wajib sadar bahwa setelah memutuskan untuk
tercebur dalam organisasi kita harus siap dengan resiko yang ada, seperti halnya
dalam meluangkan waktu, kita harus pintar-pintar membaginya, mulailah menjadi pribadi masif yang aktif, inovatif dan kreatif dalam
berikhtiar megembangkan organisasi PMII yang lebih maju.
Sebagai kader PMII kita harus mampu beradaptasi
dengan adanya modernisasi. Seperti halnya saat ini kita tengah berada di era
revolusi 4.0 yang tidak menutup kemungkinan nantinya akan menjadi 5.0. Era
dimana dunia industri digital telah menjadi paradigma atau acuan dalam
menghadapi kehidupan. Menurut saya, sebagai kader PMII kita harus mampu
mengembangkan kapasitas diri dan organisasi dalam menghadapi perubahan zaman.
Kader PMII sebagai ruang kapasitas yang kreatif dan inovatif harus mampu
menjawab perkembangan yang sedang berjalan. Agar nanti tidak gagap ketika memasuki
era revolusi yang lebih tinggi. Paradigma organisasi juga perlu pembaruan, hal signifikan yang paling urgen
adalah pengembangan sumber daya manusia di dalamnya. Seperti halnya membaca,
menganalisa, dan mengobservasi sesuai data realita yang didapatkan, sebagai
modal untuk memperkuat kapasitas kader. Di era 4.0 ini hal yang perlu didorong
adalah inovasi baru dan pembekalan digital teknologi. Kuncinya adalah sumber
daya kader yang berkualitas dan inovatif. Di sini peran pengurus sangat
dibutuhkan. Dimana seorang pengurus harus memahami setiap kapasitas
dan potensi-potensi yang dimiliki oleh kadernya. Tidak hanya itu, menurut saya, di PMII kaderisasi,
ideologisasi, dan gerakannya harus berkolaborasi. Tujuannya untuk lebih kreatif
dan inovatif baik itu di ranah internal maupun eksternal organisasi. Karena
jika tidak terkolaborasi maka akibatnya akan terjebak pada kegiatan-kegiatan
formal saja. Pengembangan ini dilakukan sebagai upaya agar
langkah PMII terarah dan terpadu untuk memanifestasikan tujuannya.
Problem
yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks, menyangkut berbagai
aspek kehidupan. Ada tiga problem besar yang mesti direspon, yaitu: korupsi,
narkoba, dan terorisme. Jika bangsa ini bisa terbebas dari tiga problem besar
tersebut, maka cita-cita untuk mewujudkan Indonesia adil, makmur dan damai bisa
tercapai. Untuk mencapai cita-cita itu tentu membutuhkan kepemimpinan yang
visioner, bersih dan berwibawa. Dalam konteks ini, maka persoalan regenerasi
dan kaderisasi menjadi amat urgen
untuk diperhatikan. Kita
sadar, bahwa para negarawan dan politisi negeri ini tidak lahir tanpa penempaan
dan pendidikan yang dilaluinya selama masih menjadi mahasiswa, terutama melalui
organisasi ekstra seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI dan sebagainya. Pada umumnya para
politisi itu adalah para aktivis dan kader-kader pilihan. Hal demikian juga
berlaku bagi sistem dan pola rekrutmen kepartaian di negeri ini. Para politisi
Senayan dan para pejabat negara selama ini pada umumnya adalah dari para
aktivis saat masih berstatus mahasiswa. Dengan demikian, para aktivis memiliki
potensi besar untuk memperoleh akses di dunia politik dan pemerintahan.
Masalahnya
sekarang adalah bagaimana pendidikan
dan pengaderan itu mampu mengantarkan mereka ke kancah politik dan pemerintahan
yang bersih dan berwibawa, bebas korupsi, narkoba dan zat adiktif lainnya?
Sebab bagaimana pun, praktik-praktik yang dialami di kampus saat mereka menjadi
aktivis (BEM, MPM dan beberapa istilah jabatan fungsionaris lainnya di
organisasi itu) akan terus terbawa sampai mereka menjadi tokoh dalam
masyarakat. Di sinilah maka pengkaderan dan pembelajaran politik di kampus
menjadi sangat menentukan perilaku politik mereka ke depan. Kampus atau
perguruan tinggi dengan demikian menjadi miniatur negara. Jika dalam praktik
mengelola organisasi sejak dini sudah berani melanggar ketentuan AD/ART atau
aturan main lainnya, maka ini merupakan awal pengalaman yang buruk bagi seorang
aktivis, dan akan berbahaya pada masa-masa mendatang jika sudah terjun di
masyarakat dan memegang jabatan tertentu. Suatu contoh kecil adalah, ketika
menangani kepanitiaan organisasi di kampus (baik kegiatan intra maupun ekstra)
mereka sudah berani melanggar aturan organisasi dan tidak mampu
mempertanggungjawabkan laporannya. Tentu kebiasaan ini akan terbawa ketika
mereka menjadi pemimpin dan pejabat publik. Maka, pendidikan karakter dan
mental sejak menjadi aktivis mahasiswa sangat diperlukan demi menghindari
praktik-praktik korup seperti yang terjadi di kalangan kebanyakan pejabat saat
ini. Demikian juga kebiasaan menggunakan narkoba atau zat adiktif lainnya yang
merusak generasi bangsa.
Orientasi gerakan mahasiswa sudah saatnya untuk berubah, dari
paradigma lama menuju paradigma baru yang mencerahkan. Pengkaderan dengan
demikian menjadi sangat penting untuk menyiapkan para pemimpin bangsa ke depan.
Sudah saatnya PMII melakukan reorientasi pengkaderan untuk menyongsong masa
depan itu. PMII harus mengubah paradigma pengkaderan, dari paradigma normatif
menuju paradigma transformatif, artinya bagaimana pengkaderan itu mampu
mengubah perilaku dan mengantarkan mereka dari berpikir sektarianisme menuju
pluralisme. Ini tentu memerlukan review kurikulum
pengkaderan yang ada selama ini. Idealnya review ini
dilakukan setiap periode kepengurusan seiring dengan situasi dan kondisi yang
terus berkembang.
Karena PMII sebagai organisasi kemahasiswaan yang memiliki
ciri khas keislaman dan keindonesiaan, maka bagaimana arah keislaman dan
keindonesiaan itu diformulasikan. Ini sangat penting. Peran
PMII akan terlihat penting dan bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
jika orientasi dan sensitivitas kepeduliannya di kedepankan. Ini sejalan dengan
dua ciri utama yang menjadi pilihan namanya, yaitu ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan. Dua ciri utama itu juga menjadi arah tujuan yang harus
dijadikan platform pergerakan. Pilihan nama sebagai
“pergerakan” bukan “himpunan” atau “ikatan” tentu juga memiliki reasoning tersendiri.
Diharapkan dengan nama tersebut, mahasiswa dapat berkiprah dan berperan aktif
dalam menegakkan kebenaran di negeri ini. Hal ini sejalan dengan cita-cita
luhur the founding fathers itu sendiri yang tertuang dalam
mars PMII, yaitu “ilmu dan bakti kuberikan, adil dan makmur kuperjuangkan….”.
Ini artinya, bahwa sebagai mahasiswa tidak bisa lepas dari pergumulan akademik keilmuan, dan sebagai
pergerakan ia harus dinamis untuk mengusung wacana keislaman khas Indonesia.
Sehingga corak keislaman Indonesia akan tergantung di atas pundak kader-kader
PMII ini. Jika ini bisa dilakukan maka sepuluh tahun ke depan kader-kader PMII
dapat mewarnai percaturan politik Indonesia yang membanggakan.
Masalahnya
sekarang, bagaimana pendidikan dan penempaan di kampus-kampus itu mampu
mengantarkan mereka ke kancah politik dan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa, bebas korupsi, terorisme dan narkoba? Perlu perubahan dari paradigma
lama menuju paradigma baru yang transformatif, artinya bagaimana mereka
mampu mengubah perilaku dan mengantarkan mereka dari berpikir pragmatis menuju
transformatif. Mencari rumusan baru tentang bagaimana wawasan keagamaan khas
Indonesiaan yang tetap mampu memelihara khazanah dan budaya bangsa dan
merumuskan paradigma baru yang lebih baik.
Oleh: Putri Patrisya
Editor: Syayidah Luthfiana
0 Komentar