Pic by pinterest https://tigorboraspati.wordpress.com/
Perempuan secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti “tuan”. Orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar. Namun dalam buku Zaitunah Subhan, perempuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai. Lebih lanjut Zaitunah menjelaskan pergeseran istilah dari wanita ke perempuan. Kata wanita dianggap berasal dari bahasa Sanskerta, dengan dasar kata wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsui atau merupakan objek seks. Jadi secara simbolik mengubah penggunaan kata wanita ke perempuan adalah megubah objek jadi subjek (Subhan, 2004).
Perempuan dikenal sebagai seseorang yang memiliki watak lemah lembut dan penyayang karena dalam segala sesuatunya perempuan memakai perasaan. Dari sinilah muncul perbedaan anatomis dan fisiologis, tingkah lakunya, kemampuan bahkan perannya dalam kehidupan bermasyarakat. Konstruk sosial inilah yang pada kenyataannya mengakibatkan ketidak adilan terhadap perempuan. Pembedaan peran, status, wilayah dan sifat mengakibatkan perempuan tidak otonom. Perempuan tidak memiliki kebebasan untuk memilih dan membuat keputusan baik untuk pribadinya maupun lingkungan karena adanya pembedaan‑pembedaan tersebut.
Dengan berbagai hal diatas, PMII pada waktu itu dikuatkan oleh berbagai macam konflik perempuan pada akhirnya membentuk kembali Badan Semi Otonom yang mewadahi kader-kader perempuan yang saat ini kita kenal dengan Korps PMII Putri (KOPRI) yang pada tahun 2000-2003 sempat dibubarkan karena Budaya Patriarki yang sangat kental di tubuh PMII. Dengan visi terciptanya masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan dengan misi mengidiologisasikan gender dan mengkonsolidasikan gerakan perempuan di PMII untuk membangun masyarakat berkeadilan gender, menempatkan KOPRI sebagai salah satu gerakan perempuan yang mendukung kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Namun, tak sama dengan gerakan feminis, KOPRI merupakan gerakan perempuan yang “khas”.
Melihat keadaan KOPRI saat ini, KOPRI belum sepenuhnya menduduki perannya dan dipandang sebatas wadah bagi kader perempuan guna membahas isu-isu keperempuanan yang mungkin saat ini sedang cukup marak di ranah akedemis. Oleh karenanya KOPRI juga harus bisa menjadi jembatan bagi kader putri khususnya untuk menambah edukasi misal melalui kajian-kajian keilmuan mengenai gerakan perempuan.
Faktor eksternal menjadi tantangan bagi KOPRI untuk terus melakukan penguatan organisasi dan individu kader untuk dapat terjun langsung melakukan perubahan dalam konteks sosial. Bukan hanya itu, KOPRI pun akan dihadapkan dengan lembaga lain yang juga konsen dengan persoalan-persoalan perempuan (Pemerintahan, LSM, dll.) KOPRI harus mampu mengkonsolidasikan diri bahkan memimpin baik gagasan maupun gerakan sampai ke akar-akarnya.
Problem diatas, harus menjadi prioritas utama dalam proses pengkaderan KOPRI yang baik. Dan KOPRI membutuhkan legitimasi struktur, pengembangan dan pembinaan organisasi, dukungan moral, politik, dan intelektual dari PMII sebagai organisasi induk gerakan agar setiap pilihan gerak yang diambil KOPRI nantinya akan saling menguatkan dan sinergis dengan Grand Design yang telah di rancang PMII dalam melihat persoalan masyarakat, negara, dan dunia.
Dalam setiap langkahnya KOPRI juga memiliki ciri khas yang lain. Aswaja sebagai bentuk ideologi menjadi landasan KOPRI untuk menjalankan misi memperjuangankan kesetaraan perempuan. Dengan kesadaran KOPRI, hadirnya reformulasi doktrin teologis (doktrin tauhid, doktrin keadilan sosial, dan doktrin pembebasan) dalam kerangka paradigma transformatif yang berpihak terhadap mustadh'afun (orang-orang tertindas) diharapkan dapat terwujud.
*Essay ini merupakan essay yang diajukan penulis untuk mengikuti SKK (Sekolah Kader KOPRI) PC PMII Kediri ke - IV
Oleh: Akhwalul Makhfiyah
Editor: Finaqurrota
0 Komentar